PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Dalam peta dunia pariwisata, Sumatera Utara masuk dalam peta kunjungan wisata dunia karena dua hal : yang pertama, adalah keelokan pemandangan Danau Toba melalui Medan-Berastagi-Prapat, dan yang kedua, adalah ombak yang sangat menantang untuk surfing dengan pantai yang masih alami di Nias.
Maka pertanyaan mendasar yang layak direnungkan ada dua yaitu :
Setelah mengunjungi Danau Toba, kenapa orang masih mau bersusah payah menempuh jarak ratusan kilometer hanya untuk mengunjungi Danau Siais? Apa yang menjadi daya tarik istimewa dari Kabupaten Tapanuli Selatan, sehingga orang masih mau berlelah-lelah ke sana?
Pertanyaan kedua adalah bilamana para surfers mau ke Nias lewat jalan darat (dari Medan ke Nias), kenapa mereka tidak singgah dulu di Kabupaten Tapanuli Selatan?
Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas, maka kita harus berpaling pada Teori Psikologi Vigotsky yang menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia adalah mahluk pembelajar. Dia selalu ingin memperoleh pengalaman baru dan oleh karena itu, manusia selalu ingin memuaskan hasratnya untuk dapat melihat dan mendengar hal-hal yang baru dan unik yang tidak dapat diperolehnya di tempat asalnya, atau di tempat lain yang sudah pernah dikunjunginya, agar dapat memperkaya wawasannya.
Maka dari itu, pengemasan obyek wisata di Tapanuli Selatan harus mengacu pada pentingnya seseorang untuk memperoleh pengalaman baru setelah mengunjungi Tapanuli Selatan karena dia telah melihat dan mendengar hal-hal yang baru dan unik yang belum pernah didapatnya di tempat lain.
Apa saja yang dapat digolongkan hal-hal baru dan unik yang menjadi potensi ekowisata di Tapanuli Selatan?
1. Suasana pedesaan yang alami, bukan saja kondisi alamnya yang masih alami, tapi
juga hubungan kekerabatan masyarakatnya yang belum tercemar oleh gaya hidup
konsumtif ala perkotaan. Para turis asing dan domestik dapat mendengar suara
siamang yang bisa membangunkan tidur di pagi hari, kicau burung-burung diantara
ranting dan dedaunan, desis udara segar yang menjadi penyejuk tubuh dan
aktivitas penduduk di sawah atau kebun sayur. Mendengar dan melihat siamang
serta menikmati jernihnya air bersama ikan Jurong (ikan mera) inilah pengalaman
baru yang khas Tapanuli Selatan.
2. Mengingat target utama adalah menarik para surfers dan pengelola ecotourism agar
mau singgah di Tapanuli Selatan dalam perjalanannya ke Nias, maka kegiatan
pendakian gunung (hiking) menapaki puncak Gunung Sibual-buali dan tracking
menyusuri hutan di kaki Gunung Sibual-buali, Sipirok, Batang Toru, Pahae untuk
melihat siamang dan macam-macam anggrek di desa Hutaraja, Kecamatan Sipirok),
dan arung jeram, cano, kayak,memancing (menyusuri Mabang-Danau Siais-
Rianeate-Muara Upu, dilanjutkan dengan menikmati sunset dan surfing di pantai
Muara Upu) harus mendapat prioritas utama karena kedua kegiatan ini tidak
membutuhkan akses pendukung (tidak memerlukan perbaikan infrastruktur jalan yang
mahal). Malahan ketiadaan sarana dan prasarana dapat dijual sebagai daya tarik
alami dari hiking dan tracking
3. Peninggalan sejarah dan situs purbakala selalu menjadi daya tarik utama bagi
para turis di seluruh dunia dan untuk hal-hal eksotis ini, tidak diperlukan
akses pendukung. Candi Bahal I, Candi Bahal II dan Candi Bahal III di desa
Bahal, Kecamatan Portibi, serta Candi Sipamutung di desa Siparau, Kecamatan
Barumun Tengah, harus segera dipugar.
4. Wisata kesehatan, seperti mandi air panas alami di Aek Milas, di desa Huta Baru,
Kecamatan Sipirok, atau mandi di kawasan air terjun Simarpinggan di desa Napa,
Kecamatan Siais, air terjun Damparan di desa Damparan, Kecamatan Saipar Dolok
Hole dan air terjun Napitu di desa Berastagi, Kecamatan Saipar Dolok Hole.
Fasilitas spa, pijat refleksi dan pengobatan tradisional dapat dibangun di
tempat-tempat itu.
b. Maksud dan Tujuan
Danau Toba tercantum dalam peta wisata dunia melalui situs International Maps and Guidebooks - Indonesia Maps from Omni Resources : Indonesia Travel, City Maps and Guidebooks, sedangkan Nias tercantum dalam peta wisata dunia melalui situs terkemuka Blue Planet Surf, Quality Surf Maps and Surfing Guidebooks Since 1987, maka penulisan karya ilmiah ini dimaksudkan untuk mengusulkan paket wisata terpadu yang memadukan ekowisata, wisata sejarah dan budaya, serta wisata kesehatan untuk menjadikan Tapanuli Selatan masuk dalam peta wisata dunia.
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah mengusulkan rencana pengembangan wisata terpadu yang tidak memerlukan investasi yang mahal, yang bertumpu pada perpaduan antara ekowisata, wisata sejarah dan budaya, serta wisata kesehatan.
c. Tinjauan Pustaka/Teori Pendukung
Menurut Peter Robbins dalam situsnya www.peterrobbins.co.uk/camino/faq.htm perjalanan wisata adalah suatu perjalanan yang menitikberatkan pada pemenuhan rasa keingin-tahuan seseorang (curiosity) dan berisikan kegiatan-kegiatan mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah dilihat atau didengar. Perjalanan fisik ini mencerminkan perjalanan pencerahan spiritual.
Menurut Timmy Branson dalam situsnya www.lexcie.zetnet.co.uk/tb-pilgrim.htm
Alasan-alasan orang melakukan perjalanan ekowisata adalah :
- Untuk menyatu dengan alam,yang dapat memberikan kesembuhan fisik dan spiritual
- Untuk berlibur secara sehat dan terlepas dari rutinitas hidup yang membelenggu
- Untuk menunjukkan komitmennya pada upaya pelestarian lingkungan
- Untuk memperoleh kesehatan fisik dan rohani
Menurut David Bierman dalam bukunya : Restoring Tourism Destination in Crisis : A Strategic Marketing Approach, menyatakan bahwa pengembangan kawasan wisata harus memperhatikan :
- Pengembangan kawasan wisata hendaknya tidak bersifat artifisial, kekhasan suatu
daerah harus dipertahankan, termasuk kekhasan kuliner dan arsitektur artefak
akomodasi (penginapan)
- Kesenian dan budaya adat hendaknya tidak dikemas secara konsumtif karena nilai
apresiasinya akan sangat rendah
- Ekowisata dari dirinya sendiri bersifat interaksi yang dinamis, tak dapat
direkayasa apalagi diatur-atur
Berdasarkan teori di atas, maka penulis berpendapat, yang perlu dikembangkan adalah modal dasar Tapanuli Selatan yaitu kawasan sekitar urat nadi kehidupan awal, yaitu kawasan transportasi sungai (Mabang-Danau Siais-Rianeate-Muara Upu), karena prasarana jalan darat sangat tidak memadai.
Satu-satunya jalur transportasi sungai yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah lewat pelabuhan sungai di Mabang, yang terdapat di Desa Hutaraja Batang Toru. Rute yang dapat dilalui dari pelabuhan ini antara lain adalah : Mabang – Danau Siais – Rianeate – Muara Upu. Pantai Muara Upu ini merupakan satu-satunya wilayah laut yang dimiliki Kabupaten Tapanuli Selatan, dimana terdapat pantai sepanjang ± 35 km yang terdapat di Desa Muara Upu, Kecamatan Padang Sidempuan Barat.
DATA, FAKTA dan ANALISA
Ekowisata mengandalkan pada kelestarian alam. Seperti telah diuraikan oleh David Bierman, pengembangan kawasan wisata hendaknya tidak bersifat artifisial. Jadi pengembangan kawasan Danau Siais tidak boleh meniru kawasan Danau Toba atau Danau Bedugul di Bali. Dengan kata lain, Danau Siais tidak boleh dijadikan Danau Toba mini atau tiruan dari Danau Bedugul. Apa icon dari ekowisata Tapanuli Selatan yang tidak dipunyai danau-danau lain di Indonesia?
Ekowisata dari hulu (Gunung Sibual-buali) sampai hilir (Pantai Muara Upu) dengan menyusuri jalur transportasi sungai Mabang-Danau Siais-Rianeate-Muara Upu.
LOKASI
Gunung Sibual-buali (hiking)
URGENSI
Mata air danau, keberlanjutan air terjun + pemandian, mencegah erosi + sedimen
di sungai
POTENSI
Siamang, burung, aneka flora mata air
FAKTA
Pembalakan liar, perubahan peruntukan lahan
ANALISA
Stop illegal logging , Stop pembukaan lahan baru untuk sawit
LOKASI
Hutan di kaki gunung - Sipirok - Batang Toru-Pahae (tracking)
URGENSI
Idem di atas + Penjaga kesejukan dan kejernihan jalur transportasi sungai
POTENSI
Anggrek, kantung -semar,lebah, kupu-kupu, taman lumut, dll
FAKTA
Idem di atas
ANALISA
Idem di atas + Stop berburu satwa + unggas
Jalur Transportasi Sungai (arung jeram + olah raga air: kayak, cano, memancing dll)
LOKASI
Hulu : Mabang
URGENSI
Perikanan air tawar
POTENSI
Idem di atas
FAKTA
Jenis anggrek tidak banyak
ANALISA
Fasilitas pelabuhan
LOKASI
Tengah : D. Siais
URGENSI
Pendangkalan akibat erosi + sedimentasi
POTENSI
Perikanan air tawar, olah raga air,
FAKTA
Eceng gondok,gulma air
ANALISA
Prasarana jalan darat
LOKASI
Hilir : Rianeate
URGENSI
Ikan jurong
POTENSI
Sumber air tawar area pantai
FAKTA
Penghutanan kembali
ANALISA
Stop polusi limbah rumah tangga
LOKASI
Pantai : Muara Upu
URGENSI
Ikan + biota laut
POTENSI
Surfing, diving + snorkeling
FAKTA
Abrasi, hutan bakau
ANALISA
Stop abrasi
Agar ekowisata dari hulu sampai hilir ini dapat sekaligus mencakup wisata lingkungan hidup, wisata sejarah dan budaya, serta wisata kesehatan, yang mampu menimbulkan pengalaman baru kepada para turis, maka :
1. Penebangan liar (illegal logging) maupun pemberian ijin HPH harus dihentikan, karena FAKTANYA, penghentian penebangan ini akan menciptakan area hutan lestari yang dibutuhkan :
(a) untuk mempertahankan kejernihan air di jalur transportasi sungai dari Mabang-Danau Siais-Rianeate-Muara Upu. Bila kondisi air sungai itu keruh, maka nilai ekowisatanya akan sangat rendah.
(b) Untuk mengatasi banjir yang sering melanda kawasan sepanjang sungai
2. Dengan dipertahankannya areal hutan lestari, maka ANALISA dampak lanjutannya adalah : kwalitas wisata kesehatan akan terjaga (keelokan air terjun Simarpinggan, air terjun Damparan dan air terjun Napitu akan terpelihara, begitu juga dengan keberlanjutan sumber air panas alami di Aek Milas).
3. Analisa berikutnya adalah kawasan hutan lestari akan menjamin keberadaan siamang dan ikan jurong (ikan mera) – icon ekowisata Tapanuli Selatan.
4. Keuntungan dari penghentian penebangan kayu dan eksploitasi hasil hutan yang berlebihan adalah terjaganya kawasan hutan hujan tropis di Tapanuli Selatan yang credible untuk dijadikan area hiking dan tracking. Ingat, kawasan hutan hujan tropis alami di Amazon, Brazil telah memancing ribuan pencinta alam untuk mengunjunginya, meskipun letaknya jauh di pedalaman Brazil, tanpa transportasi yang memadai.
5. Snow ball effect dari keberadaan hutan hujan tropis yang alami ini adalah mampu menciptakan ecotourism baru, seperti taman kupu-kupu (seperti di hutan Maros, Sulawesi Selatan), taman kijang (seperti di Taman Buah Mekarsari, Cileungsi Bogor) dan taman kantung semar (seperti di Trubus, Cimanggis), taman lumut (seperti di Kebun Raya Cibodas) dll
6. Pemugaran Candi Bahal I, II dan III serta Candi Sipamutung akan meningkatkan nilai jual dari wisata hiking dan tracking sambil menyusuri jalur transportasi sungai dari hulu (Gunung Sibual-buali) sampai hilir (pantai Muara Upu)
Jika bertumpu pada ekowisata, maka pembangunan infrastruktur tidak termasuk dalam skala prioritas. Rumah adat yang terbuat dari kayu justru akan kelihatan unik dan jembatan gantung melintasi sungai atau lembah justru akan kelihatan eksotis. Ingat, berduyun-duyun orang ingin melihat Kampung Naga di Garut, untuk sekedar menyaksikan keaslian infrastruktur di sana
RENCANA PENGEMBANGAN
Rencana pengembangan ekowisata di Tapanuli Selatan sebaiknya mengacu pada teori Vigotsky, Peter Robbins, Timmy Branson dan David Bierman yaitu menawarkan pengalaman baru, dengan menempuh perjalanan pencerahan spiritual, oleh karena itu ekowisata tidak bersifat artifisial atau direkayasa, sehingga sanggup melepaskan turis dari rutinitas sehari-hari (karena memperoleh kesembuhan fisik dan spiritual setelah mengikuti ecotourism).
Tujuan utama dari pengembangan ekowisata di Danau Siais adalah memasukkan Danau Siais dalam peta wisata dunia melalui pengembangan wisata petualangan (olah raga air, hiking, tracking), wisata sejarah dan budaya, serta wisata kesehatan, dengan mengembangkan wisata olah raga air (cano, kayak dan mendayung) yang menyusuri jalur transportasi sungai dari Mabang-Danau Siais-Rianeate-Muara Upu.
Rencana pengembangan ekowisata Danau Siais tidak boleh berdiri sendiri, karena bisa terjebak kedalam rancangan pembuatan Danau Toba mini atau meniru pengembangan kawasan danau-danau di Bali (Danau Bedugul, Danau Bratan dan Danau Kintamani). Oleh karena itu, penulis mengusulkan pengembangan terpadu yang meliputi :
1. Pengembangan kawasan hulu (Mabang)
Program dimulai dengan penyadaran akan bahaya dari penggundulan hutan melalui film Banjir yang diputar di Balai Desa. Lalu penduduk diajak mendiskusikan upaya pelestarian hutan melalui pembentukan Satuan Penjaga Hutan (Jagawana). Tujuannya meningkatkan posisi tawar penduduk saat berhadapan dengan pembalak liar atau dengan investor pemegang HPH.
Para Jagawana ini dengan didampingi oleh LSM, Polri, TNI dan Dinas Pariwisata & Kebudayaan kemudian membentuk konsorsium dengan Dinas Kehutanan untuk menghentikan penebangan liar (illegal logging) dan penghentian pemberian ijin HPH sehingga tercipta hutan lestari.
Dengan demikian icon Tapanuli Selatan : siamang dan ikan jurong (ikan mera) dapat terlindungi keberadaannya; banjir dapat dicegah dan sumber daya air terjaga kelestariannya (keelokan air terjun Simarpinggan, air terjun Damparan dan air terjun Napitu akan terpelihara, begitu juga dengan keberlanjutan sumber air panas alami di Aek Milas) dan kicau burung dapat selalu terdengar.
Penduduk yang kehilangan mata pencarian karena tidak bisa lagi merambah hutan dapat menjadi :
a. Tourist guide untuk hiking ke puncak Gunung Sibual-buali, tracking menyusuri hutan di kaki Gunung Sibual-buali, Sipirok, Batang Toru, Pahae untuk melihat siamang dan macam-macam anggrek di desa Hutaraja, Kecamatan Sipirok.
b. Menyediakan sarana akomodasi berupa rumah kayu atau rumah adat atau rumah di atas pohon, sebagai sarana penginapan yang eksotis. Ingat, ekowisata tidak boleh artifisial dan direkayasa.
c. Menyediakan makanan khas Tapanuli Selatan sebagai bagian dari wisata kuliner dan kerajinan khas Tapanuli Selatan sebagai bagian dari souvenir
d. Menyewakan sepeda gunung atau sepeda motor (seperti di Yogya atau di Bali) atau menjadi penarik ojek, agar para turis dapat mengunjungi air terjun Simarpinggan, air terjun Damparan dan air terjun Napitu atau mandi air panas alami di Aek Milas atau mengunjungi Candi Bahal I, II dan III serta Candi Sipamutung .
e. Karena lokasinya yang dekat dengan kawasan hutan lestari, maka penduduk dapat beternak lebah, beternak walet atau membudi dayakan tanaman hias hutan, seperti anggrek, kantong semar, simbar menjangan, dll (seperti di Berastagi)
f. Dalam upaya memperkenalkan wisata kesehatan di air terjun Simarpinggan, air terjun Damparan dan air terjun Napitu atau mandi air panas alami di Aek Milas, maka penduduk juga dapat belajar pijat refleksi untuk therapy relaksasi bagi para turis di sekitar lokasi air terjun atau air panas alami itu, atau memperdalam pengetahuan pengobatan tradisional untuk penyembuhan fisik dan spiritual para turis di lokasi penginapannya yang eksotis itu.
2. Pengembangan kawasan tengah (Danau Siais)
Mengingat banyaknya tumbuhan air yang menutupi permukaan air Danau Siais, yang bisa berakibat pendangkalan air danau, maka budi daya eceng gondok dan budi daya ikan thilaphia (pemakan gulma air) wajib diperkenalkan kepada para penduduk di sekitar danau. Eceng gondok dapat dibuat tikar, tas, kertas daur ulang dll, sedangkan ikan thilaphia dapat dibakar dan disajikan sebagai ikan barberque yang disantap sambil menikmati keindahan danau.
Investor seperti PTPN III juga dapat diajak untuk mengembangkan wisata air di Danau Siais, seperti mendayung, cano, kayak, ski air dan snorkeling serta memancing, sehingga wisatawan tidak bosan tinggal di kawasan danau.
Untuk mendukung wisata kesehatan maka Danau Siais dapat dilengkapi dengan sarana
pijat refleksi dan aromatherapy, serta sarana pengobatan tradisional, sehingga kawasan danau dapat dipakai sebagai tempat penyembuhan fisik dan spiritual.
Retreat House dapat dibangun dengan memfasilitasi lembaga-lembaga keagamaan.
Danau Siais cocok dikembangkan sebagai taman kupu-kupu asalkan di sekeliling danau ditanami berbagai jenis tanaman bunga. Tanaman bunga disamping fungsinya sebagai penambah nilai keindahan, juga berguna sebagai habitat kupu-kupu.
Tempat-tempat penginapan di kawasan Danau Siais sebaiknya juga dilengkapi dengan sarana penyewaan sepeda gunung dan sepeda motor, agar para tamu dapat mengunjungi berbagai obyek wisata lain di sekitar danau (air terjun Simarpinggan, air terjun Damparan dan air terjun Napitu atau mandi air panas alami di Aek Milas atau mengunjungi Candi Bahal I, II dan III serta Candi Sipamutung).
3. Pengembangan kawasan Rianeate, sama dengan pengembangan kawasan hulu (Mabang) mengingat fungsinya sebagai daerah resapan air dan sumber air tawar untuk kawasan pantai Muara Upu. Dengan demikian, proses sedimentasi akan sangat minim terjadi, sehingga kelestarian terumbu karang dan hutan bakau di pantai akan terjaga
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kelestarian ikan jurong (ikan mera) – dampak polusi limbah rumah tangga harus segera dihentikan melalui pendidikan masyarakat.
4. Pengembangan kawasan pantai (Muara Upu)
Untuk mengatasi abrasi yang sangat parah di Muara Upu, maka penulis mengusulkan pembuatan taman laut buatan
- Program dimulai dengan penyadaran akan bahaya abrasi gelombang laut dan pentingnya penanaman bakau (untuk mencegah abrasi dan sebagai tempat perkembangbiakan aneka hewan laut) – Kampanye penyadaran : ”Ramahlah terhadap lingkungan hidup,” diwujudkan dalam pemutaran DVD “Fish Don’t Cry” di kelurahan yang dilanjutkan dengan diskusi bersama penduduk tentang tindak lanjut dari penghentian abrasi dan sekaligus upaya untuk memperoleh hasil laut yang lebih memadai.
- Setelah itu, para nelayan didorong untuk membentuk koperasi. Pendirian koperasi ini dapat difasilitasi oleh LSM, PTPN III atau Dinas Koperasi. Tujuan utama dari pendirian koperasi ini adalah menghimpun dana dari para nelayan secara swadaya dan swakelola sehingga bargaining position dari para nelayan itu meningkat.
- Koperasi yang telah terbentuk ini kemudian dapat bekerja sama dengan swasta atau dengan Dinas Kelautan untuk mendirikan perusahaan ikan hias milik bersama. ”Bayangkan, modal mereka hanyalah kebersamaan dan kesamaan keinginan untuk mewujudkan lestarinya alam bawah laut bebas abrasi,”
- Setelah perusahaan ikan hias itu terbentuk, maka dikembangkankanlah pendidikan pelestarian ekosistem bawah laut, yang dapat difasilitasi LSM atau Dinas Kelautan, melalui program Candi Muara Upu (The Thousand Underwater Temples), yaitu membangun ribuan stupa tempat menempel terumbu karang di dasar laut (yang sekaligus dapat berfungsi sebagai penahan abrasi). Lalu para perempuan dan istri-istri nelayan diajar untuk menyetek terumbu karang untuk ditanam di dasar laut dan di Candi Muara Upu tersebut.
Candi itu akan menjadi tempat di bawah laut dimana nelayan Muara Upu bermimpi mendukung dunia pariwisata melalui wisata bawah air (diving dan snorkeling).
- Sekarang, kampanye ”Ramahlah terhadap lingkungan hidup,” seperti dikampanyekan dalam video Fish Don’t Cry itu dapat diikut-sertakan dalam International Underwater Foto and Video Competition. Bahkan, kalau sudah jadi, kecantikan alam bawah laut Muara Upu dapat dijadikan klip film Moment of The Earth.
Muara Upu mulai dikenal di dunia. Upaya untuk menjadikan Kabupaten Tapanuli Selatan masuk dalam peta wisata dunia akan terwujud.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pengembangan wisata Danau Siais harus mengacu pada upaya untuk mendapatkan pengalaman baru, melihat dan mendengar hal-hal baru dan unik, sehingga pengembangan wisata di kawasan itu mencerminkan perjalanan pencerahan sipiritual.
Oleh karena itu, yang perlu dikembangkan adalah kawasan sekitar urat nadi kehidupan awal, yaitu kawasan transportasi sungai Mabang-Danau Siais-Rianeate-Muara Upu, mengingat prasarana jalan darat sangat tidak memadai.
Wisata petualangan, wisata sejarah dan budaya serta wisata kesehatan sebenarnya tidak membutuhkan infrastruktur yang bagus. Tetap fokus pada pelestarian icon Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu siamang dan ikan jurong (ikan mera). Jadi sebaiknya Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan tidak terlalu fokus pada pembangunan hotel, sarana jalan penghubung dan kemasan acara wisata yang artifisial. Ekowisata itu justru menjual keaslian alam dan budaya daerah termasuk kulinernya.
Tujuan utama pengembangan wisata ini adalah memasukkan Danau Siais dan Tapanuli Selatan dalam peta wisata dunia. Tujuan ini dapat dicapai bila Pemda Tapanuli Selatan fokus pada ekowisata yang bercirikan wisata petualangan, wisata kesehatan dan wisata sejarah & budaya.
b. Saran
Sebaiknya peta lokasi Candi Bahal I, II dan III dan Candi Sipamutung disatukan dengan peta jalur transportasi sungai dari Mabang sampai ke Muara Upu. Maka restorasi candi-candi itu mutlak dianggarkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, agar wisata sejarah itu mempunyai keterkaitan langsung dengan wisata petualangan dan wisata kesehatan. Keterlambatan merestorasi keempat candi itu akan makin menyusahkan upaya untuk merekonstruksi bentuk asli candi-candi itu.
Ekowisata selalu mengandalkan keaslian alam dan budaya. Oleh sebab itu, pembalakan liar (illegal logging) dan pemberian ijin HPH harus dihentikan.
Kelestarian Danau Siais disamping tergantung pada kondisi hutan yang melingkupinya juga tergantung pada penanganan gulma air, seperti eceng gondok dan bakung.
Abrasi laut di Muara Upu harus segera dicarikan jalan keluarnya dengan pembuatan Candi Muara Upu (The Thousand Underwater Temples) dan penanaman bakau di pantai Muara Upu. Terlambat menangani abrasi ini akan berakibat hilangnya desa-desa nelayan di Muara Upu
Ikan jurong (ikan mera) di tengah limbah deterjen dan sampah organik
(limbah rumah tangga)
Lampiran 1
KOMPAS, Sabtu, 17 Desember 2005
Perjalanan Menuju Desa Tersembunyi
AHMAD ARIF
Di luar perhitungan kami, sebongkah batu menggagalkan rencana mencapai Desa Rani Ate, desa terujung di Kecamatan Padang Sidempuan Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Menurut kabar, inilah desa tersembunyi nan memesona.
Rani Ate terletak di tepi Danau Siais, danau terbesar kedua di Sumatera Utara—meski dalam peta Danau Singkarak atau Maninjau, Sumatera Barat, jauh lebih besar. Hanya ada satu rute jalan darat yang kondisinya hancur untuk mencapai desa tersebut. Keterkucilan dan danau itulah yang membuat Rani Ate amat menggoda untuk dikunjungi.
Hanya saja, sebongkah batu yang tersembunyi di jalan berlumpur pecah dihajar kendaraan kami. Pecahan batu setajam silet balas mengoyak ban depan sepanjang 10 sentimeter. Di tengah hutan dan kebun sunyi yang kabarnya dekat Dusun Bakung, tetapi tak terlihat satu gubuk pun, kami harus mengganti ban selama tiga jam di bawah guyuran hujan. Kubangan lumpur kian meninggi, hingga di atas lutut.
Rute menuju Rani Ate diawali dari jalan utama Padang Sidempuan-Sibolga, dengan berbelok di simpang Batang Toru, memasuki kawasan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Jalan masih mulus, hingga sejauh 10 km.
Setelah itu aspal mulai menghilang, menjadi jalan berbatu dipenuhi lumpur dan lubang. Memasuki Desa Hapesong, jalanan kian hancur walau mobil berpenggerak empat roda masih bisa melaluinya. Warga setempat biasa melalui jalan ini menggunakan taft badak, mobil dobel gardan yang telah dimodifikasi menjadi truk sebagai angkutan barang sekaligus manusia dan hewan.
Adalah Amirin Ritonga (48), seorang warga, yang membantu kami mengeluarkan mobil dari kepungan kubangan. Datang dengan selembar daun pisang sebagai payung, Amirin bak dewa penyelamat.
Rani Ate masih sejam perjalanan lagi, katanya. Itu pun sebuah longsoran tanah dan batu di depan yang baru terjadi beberapa jam yang lewat tak mungkin dilalui.
Sore itu, Minggu (20/11), penuh kekalahan kami mundur dan istirahat di Dusun Baringin, menumpang di rumah seorang keluarga Amirin hingga esok hari. Âaat musim hujan, jalan darat menuju Rani Ate memang sangat sulit dilalui. Jalan satu-satunya melalui Sungai Batang Toru. Itu pun harus hati-hati karena biasanya airnya meluap, kata Amirin.
Menyusur Batang Toru
Atas saran orang-orang Baringin, kami memilih berperahu menuju Rani Ate, menyusuri Sungai Batang Toru yang airnya meluap. Kami naik dari dermaga di Desa Bandar Tarutung, tak jauh dari perkebunan PTPN III Gunung Hapesong. Sesungguhnya yang disebut dermaga Cuma tepian beton di kolong jembatan yang menghubungkan kedua sisi desa.
Perahu kayu yang digerakkan generator diesel itu Cuma punya kemewahan atap terpal. Panjang 15 meter dengan lebar tak sampai satu setengah meter, membuat perahu selalu oleng bila saja satu di antara kami bergerak.
Dengan perahu itulah perjalanan harus ditempuh menghiliri sungai dengan lebar puluhan meter yang airnya coklat pekat berarus deras. Tak ada riam dan jeram menjadi tanda dalamnya Batang Toru.
Batang kayu gelondongan banyak hanyut di badan sungai sehingga perahu kecil kami harus berkali-kali menghindar. Banyaknya batang kayu yang terhanyut ini pulalah yang menyebabkan sungai yang berhulu jauh di pegunungan Tapanuli ini dinamakan Batang Toru atau berarti batang kayu tertidur.
Hamparan sawah, perkebunan sawit dan karet rakyat, pohon beringin, serta rumah-rumah warga di tepian sungai terendam banjir. Air coklat amat keruh, mengabarkan parahnya kerusakan ekologi di kawasan hulu. Habitat burung dan hewan lain seperti menghilang, dan hanya sesekali kami menemukan monyet yang bergelantungan di dahan pohon beringin yang separuh batangnya terendam air.
Dua jam perjalanan, sampailah kami di tepian Danau Siasis. Separuh permukaannya dipenuhi ilalang dan bakung. Tepian danau pun sulit lagi dilihat batasnya karena bakung menghampar hingga ke kaki perbukitan yang mengelilingi danau.
Di danau itu laju perahu tersendat karena rute menuju desa tersembunyi. Perahu harus berputar beberapa kali sebelum akhirnya menemukan terusan kecil yang telah ditutupi bakung dan eceng gondok. Tanaman air itu harus disibak dengan tongkat kayu sebelum perahu bisa menembusnya. Jadilah perahu seperti melayang di antara bakung dan eceng gondok yang lebat.
Terendam air
Pagi mulai menua ketika kami tiba di Rani Ate. Rumah-rumah yang berada di tepian danau tenggelam hingga satu meter. Seorang bocah duduk di pintu jendela dan kakinya menjulur menyentuh genangan air banjir, menunggu perahu kecil teman-temannya yang perlahan menghampirinya.
Sebuah sampan berisi empat bocah kecil tak berbaju melaju kencang, didayung oleh sang kakak yang berusia belasan. Anak-anak dalam sampan itu terus mengikuti kami yang baru turun dari perahu dan berjalan tertatih dalam genangan air hingga hampir sepaha. Mereka tertawa gembira menyambut orang luar, yang agaknya sangat jarang datang.
Di jalan desa banjir mencapai lutut. Seorang bocah, mendorong sepeda roda tiga dengan penumpang dua adiknya yang masih balita. Sesekali sang kakak dan keempat bocah bertelanjang dada itu melambaikan tangan.
Kios kecil dan warung makan di pojok desa juga masih buka seperti biasa walaupun seluruh lantainya digenangi air sehingga pengunjung harus jongkok di atas bangku kayu. Banjir tahun ini memang tak meresahkan anak-anak dan warga desa. Mereka menganggapnya sekadar ritual tahunan.
Di bagian desa yang tak terjangkau air, warga menjemur padi, cokelat, dan pinang. Kami biasa menghadapi banjir. Warga yang rumahnya di ujung desa terendam air bisa menumpang di rumah warga di hulu yang tak terkena air. Kalau air menggenangi rumah seluruh warga, itu baru masalah, kata Amir Hasan Lubis (55), salah satu tokoh warga Rani Ate.
Banjir sudah terjadi sejak 1970-an. Waktunya habis Gestapo (tragedi Gerakan 30 September 1965 Red) itulah. Pernah satu kali satu desa masuk semua banjir. Kira-kira tahun 2000-an sehingga seluruh warga mengungsi ke gunung, ujar Amir Hasan lebih lanjut.
Warga memang bisa menghadapi banjir tahunan itu, dengan sistem kekerabatan dan ikatan sosial untuk membantu sesama. Namun, sesungguhnya mereka mulai resah karena dari tahun ke tahun banjir kian tinggi.
Keadaan lebih mengenaskan dialami penduduk Dusun Muara Pardumuan di tepi Batang Toru. Dusun itu dicapai dengan dua jam berperahu ke arah hulu dari Rani Ate. Luapan air sungai membanjiri pula ladang-ladang padi di dusun itu, selain perkampungan mereka.
Seorang warga, Muhammad Sail Siregar (47) menuturkan, tahun ini dusunnya telah tiga kali tergenang banjir luapan sungai. Bulan delapan kira-kira satu mingguan. Lalu bulan sembilan-sepuluh banjirnya naik-turun dan kali ini termasuk yang tinggi, katanya.
Banjir tak pernah membuat warga dusun itu hidup layak. Tanaman padi varietas lokal berumur lima bulan yang mereka usahakan tak pernah bisa maksimal dipanen. Oktober lalu, tutur Siregar, warga masih sempat memanen sisa-sisa padi mereka yang selamat di tengah banjir. Namun, hasilnya jauh di bawah yang mereka harapkan.
Kerusakan ekologi di hulu sungai dan hutan sekitar danau sebagai biang banjir. Menurut Amir Alam Nasution, datangnya banjir pada tahun 1970-an terjadi seiring dengan maraknya pembabatan hutan di sekitar Danau Siais dan Sungai Batang Toru. Hingga kini sebuah perusahaan swasta juga masih terus mengambil kayu di kawasan tersebut walaupun sudah 37 tahun beroperasi di sana. Derita warga Desa Rani Ate dan desa-desa lain di sekitarnya yang dikepung banjir dan terisolasi akibat buruknya jalan darat kian lengkap karena tingginya harga kebutuhan bahan pokok dan rendahnya harga jual hasil bumi mereka. Misalnya, harga gula di Rani Ate mencapai Rp 8.000 per kg, minyak goreng Rp 7.000 per kg, dan minyak tanah Rp 6.000 per liter. Kami kesulitan menjual hasil bumi. Mahal diongkos transpor, kata Amir Hasan. (NAL/YNS)
Berita Lainnya :
• Perjalanan Menuju Desa Tersembunyi
• Rani Ate, Keajaiban dari Kearifan Lokal
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
Lampiran 2
KOMPAS, Sabtu, 17 Desember 2005
Rani Ate, Keajaiban dari Kearifan Lokal
AHMAD ARIF
Bocah-bocah yang belum genap berusia 10 tahun berenang di antara ribuan ikan jurung (Tor Sp) liar yang langka di sungai kecil di pinggir desa. Sesekali ikan jurung, yang rata-rata berbobot lebih dari satu kilogram dengan panjang lebih dari 50 cm itu, menabrak sang bocah yang berenang tak beraturan. Namun, ikan-ikan itu tetap tak mau pergi dari sana.
Sekitar 30 meter ke arah hilir beberapa perempuan tampak mencuci piring, dikelilingi ikan jurung atau yang biasa disebut warga ikan merah, yang memakan nasi dan sayur sisa.
Menurut cerita warga, saat debit air sungai mengecil di musim kemarau, ikan jurung itu tak sampai separuh badannya yang terendam air sungai. Tentu sangat mudah untuk menangkap ribuan ekor ikan yang terkenal sangat lezat rasanya itu, tetapi nyatanya warga tak mengusik mereka. Kepercayaan kuno menyelamatkan ikan tersebut.
Keajaiban, yang barangkali sulit dicari padanannya itu, terjaga hampir satu abad di Desa Rani Ate, Kecamatan Padang Sidempuan Barat, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Warga percaya bahwa siapa yang mengambil ikan itu akan terkena malapetaka. Jadilah Sungai Rani Ate, yang hanya selebar sekitar lima meter itu, menjadi semacam lubuk larangan, tempat pelestarian ekologi bagi ikan jurung yang di habitatnya terancam punah.
Sudah banyak bukti orang yang mengambil dan makan ikan jurung dari sungai ini mati mengenaskan. Misalnya, seorang pendatang dari Padang Sidempuan yang tengah mengerjakan proyek pembuatan jalan di desa ini beberapa tahun lalu. Ia nekat mengambil dan memakan ikan jurung dari sungai ini. Dia kemudian mati tiba-tiba. Warga sini tak ada lagi yang berani mengambil ikan larangan ini, kata Amir Hasan Lubis (55), salah satu tokoh Desa Rani Ate.
Di samping kepercayaan tersebut, warga juga memberikan sanksi moral kepada mereka yang mengambil ikan jurung itu. Siapa yang mengambil ikan ini akan dikucilkan warga, tutur Amir Hasan.
Orang-orang Rani Ate, sebagaimana makna dari desa mereka yang berarti ™hati yang berani atau teguh merupakan orang yang teguh memegang prinsip dan kepercayaan. Pantang bagi kami untuk mengabaikan prinsip leluhur, kata Amir Alam Nasution (60), tokoh warga.
Desa Rani Ate sendiri yang kini dihuni sebanyak 400 keluarga, menurut Amir, dirintis oleh marga Sitompul dari Uraba, Kuala Julu. Kemudian, pada awal tahun 1930-an datang orang-orang Mandailing dari pesisir barat sekitar Natal, Kabupaten Mandailing Natal. Konon dulu di Desa Rani Ate yang berada di tepi Danau Siasis ini banyak terdapat gajah dan berbagai hewan liar lainnya. Hingga awal tahun 1970-an, sebelum penebangan hutan dilakukan secara besar-besaran oleh pengusaha dari Medan, gajah-gajah tersebut masih kerap datang ke desa mereka.
Butuh orang-orang yang punya keteguhan dan keberanian hati untuk tinggal di desa ini. Itulah sebabnya desa ini dinamakan Rani Ate atau ’hati yang berani’. Namun, entah mengapa orang luar sekarang banyak yang menyebut desa kami Riani Ati atau ’hati yang gembira ria, katanya.
Membersihkan sungai
Konon, ikan itu dulu ditabur oleh seorang guru tarekat naqsabandiyah dari Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal. Pada awal tahun 1940-an Syekh Tabuyung, demikian warga desa memanggilnya, memberikan pengajaran ilmu tasawuf atau suluk di desa mereka. Syekh itu tinggal di masjid kecil sekitar Sungai Rani Ate.
Syekh Tabuyung sedih melihat air sungai di samping masjid yang kotor, padahal air itu biasa digunakan untuk mengambil air wudu sebelum sembahyang. €Tuan Syekh Tabuyung kemudian menaburkan ikan di sungai sekitar masjid. Katanya, ikan jurung itu akan membersihkan air sungai sehingga bisa digunakan untuk berwudu,†kata Dori Amas Nasution (87), nenek yang mengaku melihat Syekh Tabuyung menabur ikan jurung.
Sungai, yang terletak di halaman belakang rumah warga itu, menurut Dori Amas, sejak dulu memang jadi tempat aktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) bersama. Padahal kali itu juga menjadi tempat mengambil air minum dan berwudu.
Awalnya Syekh Tabuyung mengambil tujuh ikan dari hulu dan ditaruh di sungai sekitar masjid. Dia melarang warga mengambil ikan yang berjasa membersihkan air sungai, kecuali jika ikan itu berenang melewati batas 75 meter dari masjid ke arah hulu atau 75 meter ke arah hilir. Ikan di sekitar masjid hanya boleh diambil atas persetujuan seluruh warga. Kalaupun diambil, harus tetap disisakan sebagian agar tidak punah, kata Dori Amas.
Bagi warga, ikan jurung itu sendiri telah menjadi keajaiban karena mereka tak mau pindah dari lokasi sekitar masjid dan jarang berenang di luar batas yang digariskan Syekh Tabuyung. Bahkan pada tahun 1980-an, ketika seluruh desa tenggelam banjir dan sungai ini pun meluap, ikan jurung ikut pergi bersama warga ke arah hulu. Namun, ketika air surut dan warga kembali, ikan tersebut pun kembali lagi di daerah sekitar masjid.
Ikan-ikan itu tak pernah jauh-jauh dari masjid. Sepertinya, ikan itu tahu tugas mereka untuk membersihkan air di sekitar masjid, kata Amir Hasan.
Fenomena itu membuat warga kian percaya dengan keajaiban ikan jurung itu dan mereka bertekad untuk menjaganya turun-temurun. Warga pun bersepakat untuk tak mengambil ikan itu sama sekali, hingga kini.
Jika saja jalan ke desa ini bagus, kami yakin pasti banyak pengunjung yang datang untuk menyaksikan ikan ini. Dulu saat jalan baru diaspal sempat ramai walau sebentar karena jalan kemudian rusak lagi. Saat itu, kami bisa mengumpulkan banyak dana untuk rehabilitasi masjid, kata Amir Hasan.
Kebenaran legenda itu bisa saja diperdebatkan. Namun, setidaknya hal itu telah menyelamatkan ikan jurung yang langka itu dari kepunahan. Dan keberadaan ikan tersebut juga bisa menjadi aset wisata yang berharga, seandainya saja pemerintah setempat peka dengan potensi itu.
Namun, menurut warga, seiring dengan waktu, tingkat kematian ikan jurung kian tinggi, terutama di musim kemarau saat debit air mengecil. Sistem kepercayaan masyarakat untuk tidak mengusik ikan itu, memang tak berubah. Namun, adat dan pola hidup mereka telah berubah, tanpa mereka sadari sendiri.
Jika dulu hanya sampah organik yang dibuang ke sungai karena warga hanya memanfaatkan bahan-bahan organik dalam hidupnya, kini sampah anorganik banyak dihasilkan warga dan sebagian terbuang di sungai. Sampah plastik memang terlihat mengambang di badan sungai yang sempit.
Penggunaan detergen oleh masyarakat saat mencuci baju dan alat-alat dapur di sungai juga kian tinggi sehingga konsentrasi pencemaran air saat kemarau sangat tinggi.
Masa depan ikan jurung di Rani Ate pun mulai terancam….(YNS)
Berita Lainnya :
• Perjalanan Menuju Desa Tersembunyi
• Rani Ate, Keajaiban dari Kearifan Lokal
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
Ikan jurong (ikan mera) di tengah limbah deterjen dan sampah organik
(limbah rumah tangga)
DAFTAR PUSTAKA
Bierman, David, 2000
Restoring Tourism Destination in Crisis : A Strategic Marketing Approach,
CABI Publishing, US
Branson, Timmy, 2007
www.lexcie.zetnet.co.uk/tb-pilgrim.htm
Robbins, Peter, 2007
www.peterrobbins.co.uk/camino/faq.htm
Vigotsky, P, 1998
In Search of Learning Model, Prentice Hall, NY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar