Pelestarian lingkungan hidup di Indonesia menghadapi kendala yang besar sejak dikeluarkannya PP No. 2 Tahun 2008 (Lembaran Negara No.15 Tahun 2008) yang ditanda tangani Presiden SBY tanggal 4 Februari 2008. Sepintas tidak ada yang salah dalam PP ini, karena PP ini kelihatannya hanya mengatur penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan, tapi kalau kita melihat Lampiran PP ini (http://www.dephut.go.id/files/L_PP_2_2008.pdf), maka akan nampak bahwa pemerintah telah melanggar kesepakatan PBB untuk menjaga kelestarian hutan tropis sebagai paru-paru dunia, yang tercermin dalam The Bali Road Map dan The Bali Action Plan, yang telah diputuskan dalam Konperensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Climate Change Conference, 3-14 Desember 2007) di Bali. Lampiran PP No. 2 Tahun 2008 ini menyatakan bahwa hutan lindung bebas diekspolitasi asal membayar sewa sebesar Rp.300 per meter (Rp.3 juta per ha).
Dengan dikeluarkannya PP ini, maka perambahan hutan lindung menjadi absah dan ijin menambang di hutan lindung menjadi legal. Kerusakan hutan lindung di berbagai daerah yang mengakibatkan banjir, tanah longsor dan perluasan gurun akibat deforestasi telah menjadi berita sehari-hari.
Setelah sukses mengubah hutan lindung menjadi komoditas bisnis, maka pemerintah kemudian melanjutkan liberalisasi di sektor pertanian tanpa melihat daya dukung lingkungan yang sangat terbatas. Apa buktinya? Pemerintah menerbitkan PP No.18 Tahun 2010 (Lembaran Negara No.24 Tahun 2010) tentang Usaha Budidaya Tanaman, sebagai payung hukum berinvestasi di food estate. Setelah sebelumnya food estate hanya dimasukkan dalam Perpres No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka. Perpres ini merupakan bagian dari operasionalisasi UU No.41 Tahun 2009 (Lembaran Negara No.149 Tahun 2009) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang ditanda tangani Presiden SBY tanggal 14 Oktober 2009 lalu. UU PLP2B ini memberi ruang yang luas kepada pihak korporasi (pemodal besar) untuk berinvestasi dan memiliki lahan pertanian pangan.
Jika kondisi ini diteruskan maka :
1. Indonesia akan memasuki masa pengesahan “perampasan tanah” (land grabbing), ketika pengusaha besar lokal dan asing dilegalkan oleh pemerintah untuk bersaing dengan petani gurem.
2. Penguasaan lahan dalam cakupan luasan yang besar oleh korporasi atau pemodal besar akan mengabaikan keaneka ragaman hayati dan daya dukung alam, seperti sudah nampak pada pembukaan tutupan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang telah menyebabkan ekosistem Sumatra berubah total.
Pemerintah nampaknya tidak belajar dari kegagalan pembukaan lahan gambut sejuta hektar untuk persawahan di Kalimantan dulu. Kini pemerintah mengulangnya dengan membuka MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) melalui PP No.18 Tahun 2010yang telah ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 28 Januari 2010 lalu.
MIFEE akan membabat tegakan pohon dengan cakupan luas 1,6 juta hektar.
Dilihat dari sisi lingkungan hidup, pembukaan lahan sebesar 1,6 juta hektar akan berpengaruh pada perubahan ekosistem dan keseimbangan ekologinya.
Menurut WALHI, alih fungsi lahan secara besar-besaran pada wilayah Merauke yang didominasi oleh dataran rendah dan rawa dapat menyebabkan wilayah Merauke berada pada ancaman kehilangan daratan. Berkurangnya hutan dan daerah resapan akan mendorong abrasi dan intruisi air laut kedaratan semakin cepat.
Alih fungsi hutan (deforestasi) juga mempercepat ancaman pemanasan global yang dikhawatirkan menaikkan permukaan air laut hingga 2 meter.
Pembangunan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dapat berakibat buruk dan berakhir dengan bencana. The Bali Road Map dan The Bali Action Plan nampaknya kalah dengan kepentingan modal.