Member of Top Seratus

100 Blog Indonesia Terbaik

Minggu, 18 April 2010

Neolib Sudah Tak Terbendung - Ekonomi Kerakyatan Ke Laut

Setelah Pemerintah “sukses” mengeluarkan Perpres No. 112 tahun 2007 yang ditandatangani Presiden SBY pada tanggal 27 Desember 2007, yang meliberalisasi sektor perdagangan : yang tercermin dalam pasal 5 ayat 4 : mengijinkan peritel besar merambah sampai ke pelosok-pelosok, yang nampak dari menjamurnya Alfamart, Indomaret, Circle K, Superindo, Apotik 24, pom bensin Shell, Petronas, dll. sehingga pedagang tradisional mati kutu, maka langkah liberalisasi perekonomian ini kemudian dilanjutkan ke semua sektor yang lain.

Di bidang pendidikan, Pemerintah kemudian mengajukan usul inisatif tentang liberalisasi pendidikan yang tercermin dalam UU No. 9 tahun 2009 atau yang lebih dikenal sebagai UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) (Lembaran Negara No. 10 tahun 2009), yang disahkan oleh Presiden SBY tanggal 16 Januari 2009, yang telah “berhasil” membuat biaya pendidikan di sekolah negeri dan universitas negeri menjadi luar biasa mahal. UU BHP ini juga telah “sukses” menjadikan kelas regular menjadi “kelas paria” dalam menghadapi kelas internasional di lingkup pendidikan negeri, sehingga konsep education for all (pendidikan untuk semua) dan konsep “Wajib Belajar 9 Tahun” telah dilanggar secara brutal melalui berbagai PP turunannya (PP No.60 dan 61 tahun 1999). PP itu telah melegalkan komersialisasi pendidikan secara kasat mata dan menjadikan pendidikan kehilangan fungsi sosialnya (pendidikan telah dijadikan semacam komoditi perdagangan lengkap dengan pajaknya). Syukurlah UU BHP ini akhirnya dibatalkan melalui amar putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 11-14-21-126 dan Keputusan MK No. 136/PUUVII/2009 pada hari Rabu tanggal 31 Maret 2010. Keputusan MK itu bersifat final dan mengikat.

Namun Pemerintah rupanya tidak jera juga, liberalisasi dan komersialisasi itu sekarang menyentuh sektor pertanian. Melalui UU No. 41 tahun 2009 (Lembaran Negara No.149 tahun 2009) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang ditanda tangani Presiden SBY tanggal 14 Oktober 2009, ternyata pemerintah mengijinkan sektor swasta berinvestasi di sektor tanaman pangan, maka petani dipaksa bertanding dengan investor besar.

Berdasarkan UU No. 41 tahun 2009 ini, Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 18 tahun 2010 (Lembaran Negara No. 24 tahun 2010) tentang Usaha Budidaya Tanaman yang ditanda tangani Presiden SBY tanggal 28 Januari 2010 . Atas dasar PP ini, Departemen Pertanian kemudian mengajukan Draft Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Perijinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan. Menurut Draft Permentan ini semua petani di Indonesia wajib mendaftarkan usaha taninya kepada bupati/walikota apabila mereka mau menanam komoditas tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang hijau dan sorghum. Usaha tani dengan skala usaha kurang dari 25 hektar dan/atau menggunakan tenaga tetap kurang dari 10 orang harus didaftar oleh bupati/walikota.

Aturan baru ini berpotensi menjajah petani, menjadikan mereka obyek kekuasaan, menghilangkan kedaulatan petani atas lahan, mencerabut kearifan lokal dan menurunkan produksi pangan nasional. Selain itu, juga menciptakan pungutan liar (pungli), menjadikan petani sasaran pemerasan, bahkan bentuk lepas tanggung jawab pemerintah atas buruknya pendataan lahan dan usaha tani. “Dengan aturan itu, pemerintah melihat petani itu sebagai pengusaha, padahal SDM pertanian rendah”, kata Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan, Winarno Tahir pada ahri Minggu tanggal 18 April 2010 di Yogyakarta. (KOMPAS, Senin tanggal 19 April 2010 halaman 1 : Kebijakan Pertanian, MENANAM KOMODITAS HARUS IJIN BUPATI)

Neolib sudah melanda seluruh sektor kehidupan kita. Masih ingat pernyataan Wapres Budiono, yang tidak setuju jam buka supermarket dibatasi? (KOMPAS, Sabtu tanggal 20 Maret 2010 : WAPRES TAK SETUJU JAM OPERASI DIBATASI)

Ini link-nya : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/20/0338225/wapres.tak.setuju.jam.operasi.dibatasi